Anak Gang Cincau - Hantu Bang Na'in

Photo : www.harisazhar.com


















PROLOG
Jalan kecil yang dibatasi dengan perempatan jalan Fatahilah disebelah timur, dan dibatasi perempatan jalan Persima disebelah barat, disebut GANG CINCAU. Orang menyebutnya begitu, karena sepanjang jalan ini banyak ditumbuhi pohon cincau hijau. Dan saat itu banyak pendatang yang mengadu nasib dengan berjualan cincau hijau, membuat sendiri cincau hijau dengan bahan daun pohon cincau hijau yang  tumbuh subur di sekitar jalan, kemudian menjajakannya dari kampung ke kampung.
Saya sendiri sebelumnya tidak tahu orang menyebut jalan rumah saya adalah Gang Cincau, sampai pada suatu ketika setelah sekian lama keluar dan pindah dari rumah itu, seseorang mengenali saya dengan sebutan

“Yang dulu tinggal di gang Cincau ya?”

Okelah saya anak Gang Cincau, dan dari situlah cerita bermula.

***
Beberapa hari ini anak-anak gang Cincau tidak berani main diluar rumah, terutama selepas magrib. Karena mendengar cerita-cerita horror setelah meninggalnya Bang Na’in, salah seorang warga yang dikenal dengan ilmu Jawara-nya.
Selama seminggu sebelum kematiannya, Bang Na’in berteriak-teriak kesakitan, kadang mengaum seperti harimau, mencakar-cakar tembok. Teriakkannya didengar semua warga gang Cincau. Peristiwa ini terekam dikepala Danisa dan anak-anak Gang Cincau lainnya sebagai sesuatu yang menakutkan.

“Aku dengar pak Hansip Bakri cerita ke mak Jilah, tadi malam melihat hantu Bang Na’in berjalan terseok-seok, kemudian berhenti didepan rumah Mak Jilah, bilang ‘terima kasih’ pelan” 
Pinah membagikan temuannya kepada teman-temannya.

“Mak Jilah sebelah rumahkuuu…. berarti hantu Bang Na’in lewat depan rumahku…” Danisa bergetar

“Untung dia nggak mampir belanja ke warung Ibunya Dani” Adih sok berani, menakuti Danisa

“Apaan sih Lu!” Danisa bersungut-sungut.

“Sebenarnya ada urusan apa hantu Bang Na’in kerumah mak Jilah?” Adih berusaha cari tau.

“Katanya mak Jilah mengiklaskan hutangnya Bang Na’in”. Pinah sang informan melengkapi hasil ngupingnya.

Sejak cerita itu beredar, jalan yang biasanya ramai dengan anak-anak yang bermain, sekarang jadi sepi. Bahkan untuk pergi mengaji ke langgar saja mereka harus berlari-lari melewati kebun kelapa yang tidak cukup cahaya.

Langgar tempat anak-anak mengaji terletak di sebelah barat Gang Cincau, berseberangan dengan kebun kelapa yang agak luas. Jadi mau tidak mau, anak-anak Gang Cincau harus melintasi kebun kelapa itu untuk sampai ke langgar tempat mereka mengaji selepas magrib.

Disiang hari kebun kelapa menjadi ajang bermain anak-anak untuk berlatih memanjat sampai keatas. Anak laki-laki maupun anak perempuan sama saja, sebagian dari mereka suka manjat pohon kelapa, bukan untuk memetik buah kelapa, tapi untuk menandai sampai setinggi apa masing-masing sanggup memanjat. Masing-masing menandainya dengan megerat pada batang pohon. Biasanya makin hari kemampuan anak-anak makin tinggi, meskipun tidak ada satupun dari mereka yang pernah bisa sampai ke tempat tertinggi.

**
Selepas magrib, Danisa, Upik, Helia, Pinah, Adih, Topik, Esih bersama-sama berjalan menuju langgar untuk mengaji.

“Kita jangan lari ya saat melewati kebun, nanti yang lebih kecil tertinggal” Esih mengingatkan

“Iya kita jalan saja cepat-cepat, tapi tetap bersama, yang lebih kecil digandeng” Helia menambahkan.

Sampai di langgar suasana tambah mencekam, karena didalam kelas, dibagian belakang, berdiri dengan angkernya keranda mayat tempat mengusung jenazah, disandarkan ke tembok.
Anak-anak berebutan meraih kursi bagian depan, kuatir dicolek keranda apabila duduk dibagian belakang. Mengajipun tidak konsen, sebentar-sebentar menoleh kebelakang.

**
“Buuu, Dani mau pindah mengaji ditempat ustajah Aini aja, ga mau lagi ngaji di langgar”

“Kenapa? Teman-temanmu yang lain juga mangaji di langgar, kenapa kamu mau pindah sendiri?”

“Esih, Pinah, Upik juga mau pindah lah”

“Iya tapi kenapa alasan Dani mau pindah?”

Danisa berusaha mencari alasan yang tepat, karena kalau bilang karena takut hantu Bang Na’in sudah pasti Ibu tidak mengizinkan pindah.

“Dani ngajinya ga naik-naik, sudah 3 hari disuruh baca Alif Lamim terus-terusan”

“Lho itu kan malah bagus, supaya hafal dan bacaannya benar. Kalau bacaannya sudah benar pasti naik ke ayat berikutnya”

Susah dibujuk nih Ibu. Dengan terpaksa Danisa tetap mengaji ke langgar.

**
Malam berikutnya, anak-anak Gang Cincau kembali mengaji ke Langgar. Kali ini tidak nampak keranda menakutkan ada didalam kelas, karena posisinya berubah jadi berbaring di lantai kelas.
Anak-anak mulai tenang.
Tiba-tiba!

“KERANDANYA JALAANN !!!”

terdengar teriakan seorang murid yang duduk dibelakang
Seketika Danisa, Helia, Adih, Pinah, Esih, Upik, Topik menoleh kebelakang, semenit kemudian semuanya berhamburan keluar kelas, berebutan melalui pintu keluar. Sebagian besar anak-anak babak belur karena terjatuh, terbentur, tersikut dan ngusruk.
Lutut Danisa memar karena jatuh terdorong entah oleh siapa. Kepala Adih benjol karena terbentur pintu. Pinah, Esih, Upik, Topik, Helia tak kalah menyedihkan. Semuanya lintang pukang berlarian melewati kebun kelapa.

Malam berikutnya, langgar sepi tidak satupun anak yang datang mengaji, pak Ustadz Lukman termanggu didepan pintu masuk kelas menunggu murid-murid datang.  Kemana anak-anak? kenapa tidak datangnya kompak berbarengan semua?

**
Keesokan hari, 
Pak Ustazd mendatangi rumah Danisa, menanyakan kenapa tidak datang mengaji, bahkan teman-temannya semua juga tidak datang.

“Dani kemarin pulang ngaji lututnya memar-memar, katanya terjatuh didepan langgar” Ibu memberi penjelasan kepada Pak Ustadz Lukman.

Mendengar percakapan pak Ustadz dan Ibunya, Danisa segera menghampiri,

“Kemarin ada yang melihat keranda berjalan, jadi kami tidak mau lagi mengaji di langgar”

Pak Ustadz terkejut mendengar pengakuan Danisa.

“Tidak mungkin keranda bisa berjalan, nak. Besok bapak pindahkan kerandanya kebagain belakang langgar”

“Tadinya keranda bersandar di tembok, malam berikutnya sudah terbaring di lantai”

“O itu memang karena dipindahkan posisinya. Baiklah, besok dipindahkan kerandanya ke belakang langgar, jangan takut ya nak, besok kembali mengaji, ajak teman-temanmu semua”.

Sesungguhnya Danisa tidak tenang dan tetap masih takut, karena keranda itu pernah dipakai untuk mengusung jenazah bag Na’in, yang katanya arwahnya mendatangi mak Jilah dan berjalan terseok-seok lewat depan rumah Danisa. 

Komentar